twitter rss
peluang usaha

Orang Rock Itu Pemberontak

interview

oleh: Ian Antono

Musik rock pernah berjaya di negeri ini. Sejumlah grup rock, seperti God Bless, dengan salah satu pentolannya, Ian Antono, sempat merajai panggung ingar-bingar musik keras itu. Sayang, sekitar sepuluh tahun terakhir, jenis musik "pemberontakan" ini meredup. Satu per satu kelompok rock meninggalkan panggung.
Seiring dengan tenggelamnya rock, kelompok musik pop bermunculan dengan lagu-lagu lembut dan ditopang oleh industri rekaman serta televisi. Zaman berganti, selera masyarakat pun berubah.
Di tengah lesunya rock, digelarnya Parade Musik Rock di Jakarta mengejutkan banyak orang, termasuk Ian. "Saya heran masih ada yang berani bikin yang kayak begini. Pasti orang idealis, nih," ujarnya sambil mengisap dalam-dalam rokoknya.
Ian menggeluti musik sejak remaja. Adapun langkah ian pertama kali terjun ke karier musik profesional yakni ketika bergabung dengan grup band legendaris, God Bless. Bersama kelompok itu pula Ian berjaya sebagai rocker pada 1970-1990-an. Sejumlah penghargaan pun diraih.
Kepada wartawan Tempo Yophiandi, Zulhusni Siregar, dan fotografer Santirta, sang rocker berbicara seputar kondisi musik rock dulu dan kini, termasuk impiannya yang sedang disiapkan buat God Bless. Selama wawancara, Ian ditemani Tatiek Saelan, istrinya, di rumahnya di bilangan Cibubur, Jakarta Timur, Rabu pekan lalu. Berikut petikannya.
IA: Ian Antono
TS: Titiek Saelan
Mengapa rock menyusut dari musik Indonesia?
IA: Sebetulnya ini tuntutan pasar. Terutama karena ini pesanan label, kan. Pembeli kaset (dan cakram) sekarang kan sudah anak-anak baru. Bukan lagi zaman kita. Era dulu, sekarang sudah bergeser ke Barat. Tak mungkin jadi pembeli musik Indonesia lagi. Kalian kan generasi yang dibentuk label. Maunya label apa, ya, itu yang dibuat.
Kenapa terkesan ada putus generasi?
IA: Putus sih enggak, ya. Karena enggak ada band yang ke situ (musik rock) saja. Jadi kalau sekarang orang mau ngerekam rock, orang berpikir tiga-empat kali. Karena, kalau mau ngasih ke label, disuruh ganti lagi, ganti lagi. Akhirnya pribadi dia itu hilang. Sorry, ya, orang kalau pribadinya enggak ngerock, enggak mungkin bisa main rock, mainkan distorsi iya. Cuma ingar-bingar, dibungkus distorsi biar kelihatan ngerock bisa. Tapi rohnya enggak bakal ngerock.
Ada semangat zaman yang hilang, rindu kebebasan?
IA: Pasti ada. Orang rock itu pemberontak, dan itu menyatu dalam lirik lagunya. Entah pemberontak dari segi apa, menyatu dalam lirik. Enggak mungkin dibilang rock itu salon saja. Kan lirik dulu begitu (kritik sosial). TS: Sekarang siapa yang enggak keras. Malah yang di jalanan lebih keras daripada kita kan. Iwan (Fals) bagaimana tidak kerasnya waktu itu? Sekarang kan akhirnya dia juga menyanyikan lagu-lagu cinta.
Tak ada regenerasi?
IA: Begini ya, memang kalau band rock itu sudah agak berkurang. Karena begini, tiap mengeluarkan album, kayak Grass Rock, pendengarnya enggak jalan. Jadi, lama-lama, industrinya justru yang berkurang.
Apa sekarang terlampau enak?
IA: Karena sekarang orang menuntut lebih gampang. Orang yang beli kaset dari kalangan pembantu. Ring tone, ya, pembantu saya handphone, sorry ya, banyak sekali. Ya anak ABG-nya sorry ya, begitu. Memang pengetahuan musik klasik rock zaman dulu itu sudah tak ada. TS: Seleranya sudah berubah.
Makanya sekarang pada ke indie, ya? Mungkin enggak masuk label lagi?
IA: Mungkin saja, kenapa enggak? Tergantung pemasarannya, bukan labelnya. Yang jelas kan sekarang masih main. Ini ada teman saya lagi mulai, jual murah, untuk membuat pasar sendiri. Tak mengikuti jalur distribusi biasa, jadi bikin agen di tiap daerah. Dia pakai label sendiri, jual cakram Rp 6.000. Usaha kayak begitulah yang harus dilakukan.
Dulu rock bisa bertahan sampai tiga dekade (1970-1990-an), kenapa?
IA: Saya pikir karena rambatannya, ya. Enggak dari atas (industri musik) kayak sekarang. Kalau dulu kami kan gerilya. Dari kecil saja kami sudah dibekali dengan berbagai macam musik, mulai dari klasik sampai pop. Terus disaring sampai kami olah, jadi diri sendiri, dan akhirnya memilih rock.
Pertama main musik apa?
IA: Dulu saya main jazz-jazz standar, kayak bosanova, saya main di night club, sama orang jazz. Pegang drum malah, itu usia 16 tahunan. Era The Shadows tahun 1970-an, saya baru pegang gitar. Guru saya justru orang jazz, saya belajar dari dia. Keluarga saya kan keluarga band, kakak saya main gitar.
Kabarnya orang yang jago di rock, mulainya dari klasik?
IA: Basic-nya ada. Saya memang suka klasik. Rock dan heavy metal itu mungkin gabungan jazz dan blues.
Mungkin itu sebabnya sekarang kurang ada rock, prosesnya harus lebih panjang dibanding sekarang?
IA: Ya, mungkin memang enggak punya bekal (ilmu musik). Mungkin juga terlalu cepat (proses bermusiknya), karena mereka industri kan, ya. Saya lahir bukan dari industri. Dulu saya datang ke Jakarta tujuannya apa? Ya, main musik, supaya lebih ahli, bukan rekaman. Rekaman itu berikutnya.
Sebelum rock menghilang, ada band-band "gondrong" tapi lagu cinta. Sejak kapan rock menghilang?
IA: Ya, sekitar mendekati 2000-anlah. Tahun 1990 itu sudah mulai (terjadi) "pengkhianatan", sejak masuknya label besar asing plus lagu-lagu dari Malaysia. Dengan master sekian banyak, dengan lagu kayak begitu, sejak itu mulai diarahkan tuh musik-musik sama label.
Karena mungkin ikut lagu-lagu slow rock kayak White Lion, Scorpion?
IA: Ya, enggak juga. Sebetulnya itu tetap enak, kok. Tetap ada soul-nya, semangatnya.
Kapan Anda mulai rekaman?
IA: Saya mulai rekaman justru sebelum di God Bless, waktu di Band Bentoel. Sejak ikut God Bless, kami juga tak bicara rekaman, bikin lagu saja.
Dulu rock bisa jaya karena ada sentranya, seperti di Malang, Jakarta?
IA: Iya, ada sentranya. Sampai sekarang juga masih ada. TS: Malang memang keras, ya. Sampai jual celana, untuk beli tiket. Lagu dihafalin dulu baru nonton. Tapi sekarang, ya, sudah tak ada, sudah tua-tua. Era sekarang, ya, beda. Lapangan bola saja jadi mal.
IA: Sekarang memang tak ada yang mewadahi. Banyak yang kirim kaset, telepon, mau rekaman, tapi di Jakarta. Orang mau berjuang (berhadapan) sama produser sudah enggak ada (semangat mengembangkan musik). Kalau mau masuk rekaman mesti laku. Kalau dulu, yang punya rekaman enak-enak saja, "Gue yang punya duit, gue senang musik." Sekarang label yang mendikte karena punya kuasa, lho, punya link televisi.
TS: Tahun 1970-1980-an saya enggak boleh masuk televisi karena yang gondrong enggak boleh.
IA: Mesti diikat rambut saya. Justru asyiknya main musik di zaman itu. Enggak mikirin laku atau enggak.
Ada kekhususan untuk masuk rock?
IA: Rock itu hubungannya dengan keras, power. Makanya kalau orang enggak bisa keras, jangan main rock. Vokalnya harus keras, melengking tembus sound gitar. Ada hubungannya dengan energi, mukul drum juga enggak bisa pelan-pelan.
Kalau blues soul-nya mengingatkan penderitaan, bagaimana dengan rock?
IA: Pengalaman kami, sudah harus ada tema. Misalnya ada lirik mengacu ke mana, hubungannya dengan kekerasan, kritik sosial. Misalnya marah, sedih, haru, berontak, happy. Kalau rock n roll kan riang, balada kan sedih. Ini karakter. Heavy metal kan suaranya harus gaduh.
Tapi suara rock sekarang juga beda. Karena zamannya?
IA: Ya, dulu melengking, sekarang rendah, ya. Jadi dulu dicari sound melengking karena memang menyelamatkan sound gitar. Kalau sekarang kan terbalik, justru gitarnya yang direndahin, mengikuti vokal.
Minggu ini ada Jakarta Rock Parade, bagaimana menurut Anda?
IA: Ini bukan satu-satunya cara. Cuma, dengan mengadakan (acara) ini, bagus juga. Berarti mereka ada rasa berjuang untuk musik. Saya sendiri bingung, berani betul zaman kayak begini bikin parade seperti itu. Ini pasti orang idealis. Ya, ini bagus, punya cita-cita mengembalikan rock lagi.
Rock sekarang semakin eksklusif, ya?
IA: Karena kan sedikit. Kalau di daerah sih masih banyak yang suka rock. Jakarta saja yang suhu industrinya rada aneh. Tapi kayaknya memang enggak ada hubungannya, dari zaman dulu, industri dan perkembangan rock. TS: Perlu diketahui, God Bless itu tak pernah sukses di industri (rekaman), album, tapi selalu sukses di panggung.
IA: Memang rock itu, ya, harus dengan performance.
Di luar negeri bagaimana?
IA: Masing-masing sudah punya wilayah. Kalau rock sudah ada penonton rock, jazz menonton jazz, begitu. Masing-masing punya penggemar yang sulit, bahkan tak mungkin diracuni, dicekoki dengan penggemar musik lain. Tapi kalau di Indonesia, bisa. Karena ada tren atau hit, hari ini beli ini, besok yang itu karena penontonnya belum menemukan "diri sendiri".
Bagaimana mendapatkan formula yang pas buat rock di Indonesia saat itu?
IA: Sebetulnya saya banyak belajar, mendengar. Saya bergaul dengan Iwan (Fals), banyak penyanyi mulai dari tradisional, dengan Indra (Lesmana), Gilang (Ramadhan). Akhirnya ini yang membuat saya jadi tahu harus bagaimana. Kan lebih gampang belajar musik tradisional, misalnya, dibanding blues, karena itu kan milik orang lain. Saya sendiri sadar akan kesulitan kalau mengikuti, menyelami "penderitaan" yang ada di jiwa mereka. Kalau saya belajar musik Jawa, kan jauh lebih gampang, enggak usah belajar lagi. Kalau belajar, ya, enggak perlu jauh-jauhlah.
Unsur etnis di musik God Bless dan Gong 2000 itu memang sengaja dimasukkan?
IA: Sebetulnya bukan sengaja, kalau kita bikin album kan sudah ada frame-nya, ada cermin. Lagu yang dibikin, ya, ada benang merahnya. Kalau mau bikin country ya mesti pakai gitar akustik, misalnya.
Waktu eksperimen itu, kedengaran aneh enggak?
IA: Memang, apa pun yang belum populer pasti aneh. Memadukan alat tradisional, suling masuk di rock jadi aneh memang. Tapi kalau sudah terbiasa orang enggak aneh lagi, malah mengikuti. TS: Kemarin habis bikin album musik Dayak dicampur rock, lagu berbahasa Melayu. Ada seorang ibu yang ingin dibuatkan album.
Ada perasaan rindu dengan masa dulu?
IA: Rindu sih enggak. Cuma ada satu hal yang belum kesampaian. Saya merasa God Bless itu belum dimaksimalkan, ditata sebagaimana orang Barat menata sebuah band. Misalnya, God Bless itu seharusnya sudah bikin pergelaran sendiri, yang ada LCD-nya bagaimana perjalanan God Bless, dibukukan. Seharusnya God Bless sudah pantas.
Kontribusi Anda terhadap God Bless sejauh mana?
IA: Kami ini bukan sekadar grup band. Sudah lebih dari itu, ini persaudaraan, keluarga. Dengan keluarga dekat, dengan anak juga. Keluarga besar.
Anak-anak mengikuti jejak Anda?
IA: Sudah, dengan gayanya sendiri tentu. Kan anak muda maunya sendiri, mereka kan punya dunia berbeda. Minggu depan mau launching.
Dulu main di klab, kafe, sekarang masih mau main?
IA: Saya sih enggak lagi. Enggak nyambung saja. Enggak satu perjuanganlah ha-ha-ha. Ntar lagu slow semua yang diminta.
Anda bisa mencukupi keluarga dengan bermusik?
IA: Kalau dari grup saja enggak bisa. Ya, mudah-mudahan ya kalau God Bless jalan lagi. Makanya saya berkecimpung banyak di produser, arranger.
Saran supaya rock berjaya lagi bagaimana?
IA: Kalau sekarang, mau enggak mau mulai dari industri. Televisi itu sudah penuh, (ironisnya) kalau belum muncul di televisi (dianggap) belum populer. Kalau dulu orang tak perlu televisi, tahu God Bless dari media cetak, radio. Mau enggak mau sekarang industri, seperti Soundrenalin saja kan sudah ada industrinya. Jadi semacam ladang promosi. Yang idealis makanya jadi rontok.
Pembajakan dulu juga dirasakan?
IA: Ya, dari dulu. Sekarang juga. Padahal kan enggak bikin lagu lagi, tapi ada terus kan.
Bukannya bagus, masih didengar orang?
IA: Ya, kalau dikenal tapi kami enggak main, ya, percuma.
Tribute bagaimana, tak bisa membawa angin perubahan?
IA: Ya, kalau saya bilang sih salah strategi, ya. Di luar itu kalau rock ya, kalau mau dibuat lagi, orang aslinya yang mesti nyanyi, bukan orang lain. Kecuali pop. Rock itu identik dengan asalnya, bukan asal orang. Deep Purple dinyanyikan yang lain enggak mungkin. Kehilangan rohnya.
Anda diundang untuk Rock Parade?
IA: Pernah. Tapi saya disuruh main sama orang. Enggak enak, kan.
Dulu waktu akan konser selalu harus pakai baju ketat kulit begitu?
IA: Ya, iya. Tapi itu kan kostum panggung, ya. Ya, semuanya kan kami persiapkan, bagaimana kostumnya, warnanya, pas atau tidak dengan lagu yang akan dinyanyikan.
Pernah "gerah" dengan peralatan yang disiapkan?
IA: Ya, sering. Waktu cek sound-nya enggak bagus saja sudah gerah.
Log Zelebour bagaimana, ya?
IA: Dia memang idealis. Dari dulu seleranya memang dia rock. Rock dulu, bukan rock sekarang.
BIODATA
Nama : Yusuf Antono Djojo (Ian Antono)
Lahir : Malang, 29 Oktober 1950
Profesi: Pencipta lagu, arranger, produser, gitaris (seniman rock)
Status : Menikah (dengan tiga anak)
Karier :
  • 1970, Bentoel

  • 1974, God Bless

  • 1989, Gong 2000 Album : God Bless (4 album), Gong 2000 (3 album)
    Penghargaan:

  • 1987-1988, BASF Award (Gersang)

  • 1989, HDX Award (Buku ini Aku Pinjam)

  • 1989, BASF Award (Bara Timur)

  • 1994, HDX Award (Laskar)

  • 1995, Diamond Achievement Award

  • Posting Komentar